Setiap dimulainya tahun ajaran / akademik baru, selalu timbul berbagai problem yang dilematis di masyarakat. Tahun ajaran atau akademik baru tidak hanya berarti saat dimulainya sekolah-sekolah atau perguruan tinggi menerima siswa / mahasiswa baru, anak-anak yang baru lulus dari bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) menghadapi dilema dalam menentukan pilihan akan kemana setelah selesai sekolah? Pilihan untuk berhenti melanjutkan studi menimbulkan persoalan yang cukup rumit bagi dirinya, dalam situasi ekonomi yang carut marut seperti sekarang ini berapa perusahaan yang siap menyediakan lapangan kerja bagi dirinya? Belum lagi berbagai pertanyaan yang muncul seandainya melanjutkan studi dengan apa ia harus membayar uang studinya serta tidak adanya jaminan yang pasti tentang masa depannya. Bagi orang tua yang memiliki anak dan bagi masyarakat umum, berhasil mendorong dan membiayai anaknya melanjutkan studi di perguruan tinggi tidak hanya menimbulkan kebanggaan tapi juga menjadi harapan bagi masa depan mereka.
Apa yang kita lihat dan saksikan akhir-akhir ini berkaitan dengan Perguruan Tinggi baik Negeri atau Swasta (PTN/PTS) sering membuat kita tercengang, suatu saat institusi pendidikan tinggi ini membuat semua masyarakat bangga dan mengelu-elukannya tapi kadang pada saat yang lain masyarakat mengolok-olok bahkan mencibirnya.
Sebelas tahun yang lalu saat dimulainya era reformasi sebagai sebuah gerakan perubahan bangsa dan negara Indonesia menentang regime otoriter juga dimulai dan dimotori dari sini (baca: Mahasiswa), bahkan kalau kita menengok jauh ke belakang, pergolakan politik, sosial dan ekonomi, juga dimotori oleh mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika. Masih segar dalam ingatan kita begitu bangganya masyarakat Indonesia saat melihat berbagai elemen mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia menyuarakan dan melakukan gerakan etik / gerakan moral dalam rangka menegakkan tatanan masyarakat Indonesia yang lebih adil dan demokratis pada masa people power bulan Mei 1998. Rasanya tidak ada kata-kata yang bisa mewakili raas bangga itu kecuali sanjungan terhadap eksistensi mahasiswa Indonesia yang sanggup menyuarakan hati nuraninya dan hati nurani masyarakatnya yang tertindas, begitu murninya gerakan mehasiswa sehingga seluruh masyarakat Indonesia menaruh harapan besar terhadapnya.
Era Reformasi yang ditandai denan dimulainya tatanan masyarakat yang baru menimbulkan barapan baru pula bagi seluruh masyarakat, tapi sanjungan dan pujian terhadap mahasiswa berganti menjadi cacian dan ejekan ketika seluruh masyarakat menyaksikan perilaku sekelompok anak muda yang mengaku sebagai mahasiswa saat berbeda pandangan dan pendapat berkelahi tak ubahnya seperti preman jalanan. Masih segar pula ingatan kita beberapa minggu yang lalu saat dua perguruan tinggi terkemuka di jalan Salemba Jakarta Pusat, mahasiswanya terlibat baku hantam, saling pukul, saling lempar dengan baru bahkan dengan bangga menenteng senjata tajam berupa pedang, parang dan pentungan untuk menyelesaikan persoalan yang tak jelas. Bahkan salah satu perguruan tinggi itu adalah perguruan tinggi yang berlabel agama yang diharapkan sanggup menjadi teladan tentang moralitas, tidak hanya Jakarta, Medan, dan Sulawesi Selatan mahasiswanya juga terlibat baku hantam dengan sesamanya.
Lalu masyarakat mulai bertanya, apa bedanya seorang mahasiswa dengan anak-anak yang bukan mahasiswa? Apakah mahasiswa sama dengan bukan mahasiswa dlam memecahkan suatu persoalan yang dihadapi? Lalu dimana keunggulan mahasiswa bila "pola pikir" dan "tindakannya" sama dengan orang-orang pada umumnya? Belum lagi dihadapkan pada berbagai pertanyaan yang barkaitan dengan sumbangsih mahasiswa terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar