Minggu (2/10) pagi, Kota Lhasa, ibu kota Tibet yang berada di ketinggian 4.000 meter lebih, suhunya mencapai 3 derajat Celcius. Sepagi dan sedingin itu, ratusan warga Tibet pemeluk agama Buddha sudah melakukan ritual keagamaan. Mengelilingi Jokhang Temple, salah satu tempat suci umat Buddha yang berada di Jalan Barkhor, Lhasa, persis di depan hotel tempat saya menginap.
Hari
itu, saya harus meningalkan Lhasa menuju Kathmandu, ibu kota Nepal.
Jalan-jalan di kota Lhasa sangat mulus. Begitu juga jalan tol, jembatan
kereta api maupun jembatan kendaraan bermotor. Bahkan sampai jalan tol
menuju luar kota pun jalannya sangat mulus. Tak heran, banyak turis
penggemar sepeda pancal malakukan tur sampai luar kota. Bahkan hingga ke
pegunungan Tibet dan Himalaya karena jalannya begitu mulus. Meski
jalannya naik turun melewati pegunungan, tapi itu justru jadi tantangan
tersendiri bagi para penggemar berat sepeda pancal.
“Sepulang
merantau dari India dan Nepal, saya kaget melihat jalan-jalan di kota
Lhasa. Semua kini begitu bagus dan mulus. Dulu tidak seperti ini,” kata
Jack Kalsang, warga Lhasa yang mendampingi saya menempuh perjalanan
menuju Kathmandu.
Setelah
melewati jalan highway selama 30 menit baru ada check point di luar
kota Lhasa. Karena setiap orang asing yang masuk Lhasa dan Tibet harus
mendapat semacam ijin masuk dari kepolisian setempat atau yang menangani
border. Saya hitung, sedikitnya ada empat check point. Sopir harus
menunjukan surat ijin masuk Tibet bagi turis yang dibawanya.
Selepas
Sungai Burma (karena hilirnya sampai ke negara Myanmar), jalannya
terus menanjak dan berliku-liku melewati pegunungan Himalaya.
“Subhanallah, maha suci Allah. Pemandangan begitu indahnya,” kata saya
dalam hati. Pegunungan itu begitu besar. Sedangkan kendaraan yang
melintas di kawasan itu nun jauh di bawah sana terlilhat begitu
kecilnya. Manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan alam, apalagi
pencipta-Nya. Jalan yang melintas di pegunungan itu sambung memyambung
hingga 365 km jauhnya.
Puncak
tempat di pegunungan itu namanya Kampala. Tingginya sekitar 4.500 meter
di atas permukaan laut. Terlihat beberapa pengendara foto bersama.
Pemandangan di bawah sana begitu eksotik.
Jalan
di pegunungan itu begitu bagus. Betapa pemerintah Tiongkok dengan
susah payah telah membangun dan memperbaiki jalan di pegunungan itu
meski ada beberapa lubang kecil.
Beberapa
pekerja tampak terus memperbaiki meski berada di ketinggian dengan suhu
udara sekitar 10 derajat Celcius. “Sudah empat tahun jalan ini
dibangun,” kata Kalsang.
Jalan
di pegunungan itu berliku dan mulai menurun. Terlihat dari kejauhan
danau Yadov Yang Tsu, satu dari tiga danau yang disuckan umat Buddha
Tibet. Karena disucikan, ya tidak ada yang boleh mandi atau mengotori
danau itu yang berada 4.442 meter di atas permukaan laut. Panjang danau
yang mencapai 136 kilometer itu warna airnya tampak hijau kebiruan. Saat
didekati dan disentuh, mak nyus begitu dinginnya. Banyak pengendara
yang melintas di wilayah itu foto bersama. Termasuk di patok nama danau
yang menunjukkan ketinggian 4.442 meter yang dijaga warga Tibet. Sekali
foto, bayar 5 Yuan atau sekitar Rp 7.500.
Begitu
indahnya danau itu hingga warga Tibet percaya danau itu diciptakan saat
Tuhan menangis. Mengapa? Karena daerah sekitar danau dulunya miskin dan
kering. Setelah ada danau, wilayah itu begitu suburnya. Kesejahteraan
masyarakat pun terangkat.
Kini
jalan mengikuti konstur danau. Di sepanjang lembah dekat danau banyak
dijumpai kambing dan Yak, sejenis sapi mirip benteng tapi lebih kecil.
Namun bulunya sangat tebal. Bulu binatang itu sampai sekarang masih jadi
bahan pakaian orang Tibet, khususnya yang hidup nomaden atau
berpindah-pindah tempat.
Dari
kejauhan tampak pegunungan yang puncaknya dipenuhi salju. Beberapa di
antaranya mulai mencair seperti di puncak Carulla, nama salah satu
puncak di situ. Suhunya bisa mencapai 7 derajat Cecius.
Selepas
itu ada danau lagi. Namanya, Pamu Majala. Meski tidak sebesar dan
sepanjang Danau Yadov Yang Tsu, namun tidak kalah indahnya. Airnya juga
tampak biru kehijauan. Di ujung danau Pemerintah Tiongkok membangun
bendungan untuk jadi PLTA (Pusat Listrik Tenaga Air).
Di
wilayah itu, pemerintah Tiongkok juga membangun beberapa blok rumah
untuk suku nomaden. Hanya beberapa ditempati, selebihnhya kosong. “Kalau
tinggal biasanya sementara. Paling satu, atau dua bulan. Setelah itu
mengelana lagi mengikuti binatang peliharaannya mencari rumput yang
lebih bagus lagi,” ujar Kalsang.
Pemandangan
di wilayah itu indahnya tak ada habisnya. Danau, sungai, jalan berliku,
rumah khas Tibet terus mewarnai sepanjang jalan. Saat berada di jalan
datar dan sopirnya terlalu pelan menjalankankendaraan, saya tegur agar
lebih kencang.
Di
Desa Pena, tak jauh dari kota Shikatse, ada kebiasaan aneh warga
setempat. Dimana seorang istri harus rela dikawini semua saudara
laki-laki suaminya tadi. Kalau ada empat saudaranya, ya si istri
otomatis jadi istri kelima pria tadi. “Uniknya, justru istri yang
berkuasa. Kalau soal begituan sang istri yang menentukan akan melayani
siapa,” tutur Kalsang.
Tampak
beberapa traktor warga setempat atau Tibet hilir mudik di jalanan itu.
Bahkan di kota kecil ini, ratusan traktor tampak di parkir di pasar,
atau jalan kota yang umumnya wilayah lembah pertanian yang subur.
Setelah
tujuh jam berkendaraan, akhirnya saya tiba di Kota Shikatse pukul
15.30. Tapi, hari masih siang. Kalau di Indoneia mungkin sama seperti
pukul 13.00. Rencananya, saya akan menginap di daerah itu. Tapi, saya
paksa Kalsang mengurus ijin masuk atau permit ke wilayah perbatasan
Zhangmu dekat Nepal hari itu juga agar secepatnya bisa berangkat ke
perbatasan.
Akhirnya,
Liu, sopir yang mengurus ijin masuk ke Zhangmu ke kantor polisi
terdekat. Saya menunggu di salah satu warung kota itu sambil menikmati
teh hijau khas Tiongkok.
Kota
Shikatse siang itu sangat terik meski suhu udara cukup dingin karena
ketinggian kota itu diatas seribu meter lebih. Kondisi kotanya,
khususnya jalan, tampak acak-acakan. Sebab, di sana sini banyak yang
rusak dan sedang diperbaiki. Belum ditambah banyak debu berterbangan.
Maklum, banyak pegunungan tandus dan kering mengitari kota ini.
Dua
jam kemudian muncul Liu. Urusan ijin masuk ke kota perbatasan Zhangmu
beres. Kami pun langusng meluncur ke kota berikutnya Lao Zhe. Begitun
keluar kota Shikatse, jalannya sangat mulus. Terdiri dua lajur.
Di
kiri-kanan jalan terhampar pemandangan gunung kering dan lembah savana.
Hanya saja tidak seperti daerah savana lainnya, di situ tidak terlihat
binatang peliharaan yang digembalakan. Menjelelang masuk kota Lao Zhe,
binatang gembalaan baru terlihat.
Kali
ini sopir Liu melajukan kendaraan lumayan kencang . Sebenarnya bisa
dikebut di atas 100 kilometer per jam. Tapi, kendaraan di sini kalau
melewati batas kecepatan 100 km per jam akan ada suara peringatan dari
mobil. Dan, sopir biasanya patuh dan memelankan laju kendaraannya.
Tiba
di kota Lao Zhe yang merupakan kota kecil, jam menunjuk pukul 19.30
waktu setempat. Tapi, hari masih sore karena sinar matahari masih
terlihat. Akhirnya, kami putuskan terus melanjutkan perjalanan sampai ke
Kota Tingri sekitar dua jam perjalanan agar esoknya tidak terlalu jauh
ke Zhangmu, kota perbatasan dekat Nepal.
Saat
melintas check point di kota Lao Zhe, polisi yang bertugas di wilayah
itu memerintahkan kendaraan terus melaju karena dia saat itu sedang
sibuk menelpon sambil mengawasi dari jauh.
Selepas
kota Lao Zhe, jalannya terdiri dua lajur, tapi sedikit menyempit, meski
tetap mulus. Kendaraan melaju pelan karena jalanan terus menanjak. Di
Kiri kanan jalan diapit gunung batu terjal dengan sungai mengalir deras
di bawahnya. Benar-benar pemandangan yang indah.
Sesekali
melintas truk-truk buatan Tiongkok yang tampak cukup tangguh. Namanya
Dong Feng. Truk ini lah yang banyak beoperasi di wilayah pegunungan
Himalaya maupun Tibet dengan mengangkut aneka muatan. Mulai sembako,
sayuran, buah-buahan sampai material bangunan.
Jalanan
terus menanjak. Sepintas, terbaca tulisan menuju base camp Mount
Everest. Jalanan yang kami lintasi cukup tinggi sekitar 4.150 meter di
atas permukaan laut. Rangkaian pegunungan Himalaya yang ditutupi salju
tampak dari kejauhan.
Tampak
juga suku nomaden warga Tibet mengembalikan kambing dan yak- nya di
daerah pegunungan yang jauh dari pemukiman warga. Meski hari menjelang
malam, mereka tampak jalan dengan binatang peliharaannya di lembah dekat
jalan raya.
Mereka
hanya mendirikan tenda ala kadarnya dekat kambing tempat mencari makan.
Bisa dibayangkan, betapa tangguhnya suku nomaden menghadapi ekstremnya
cuaca. Dimana kalau malam hari suhu udara di wilayah itu bisa mencapai 3
derajat Celcius.
Tiba
di kota Tingri, yang merupakan kota transit para turis sebelum
melanjutkan ke kota Zhangmu, kota perbatasan, lalu masuk negara Nepal.
Kotanya sangat..sangat kecil. Hanya memanjang tak lebih 500 meter.
Beberapa bangunan berdiri di kiri kanan jalan. Yakni, berupa deretan
hotel kecil, restoran. Nyaris tidak ada rumah warga asli.
Malam
itu semua hotel yang ada di kota kecil itu penuh oleh turis yang akan
melanjutkan perjalanan ke perbatasan, termasuk para turis pengendara
sepeda pancal. Kami berkeliling, akhirnya dapat hotel yang tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar