Minggu, 23 Oktober 2011

sang puncak abadi

Danau “Tuhan Menangis” di Ketinggian 4.442 meter
Setelah menempuh perjalanan selama 44 jam dengan kereta api dari Kota Chengdu, wartawan Jawa Pos (induk Jambi Independent) tiba di Kota Lhasa, Tibet. Warga di kota ini ramah, dan budayanya mempesona.
Minggu (2/10) pagi, Kota Lhasa, ibu kota Tibet yang berada di ketinggian 4.000 meter lebih, suhunya mencapai 3 derajat Celcius. Sepagi dan sedingin itu, ratusan warga Tibet pemeluk agama Buddha sudah melakukan ritual keagamaan. Mengelilingi Jokhang Temple, salah satu tempat suci umat Buddha yang berada di Jalan Barkhor, Lhasa, persis di depan hotel tempat saya menginap.
Hari itu, saya harus meningalkan Lhasa menuju Kathmandu, ibu kota Nepal. Jalan-jalan di kota Lhasa sangat mulus. Begitu juga jalan tol, jembatan kereta api maupun jembatan kendaraan bermotor. Bahkan sampai jalan tol menuju luar kota pun jalannya sangat mulus. Tak heran, banyak turis penggemar sepeda pancal malakukan tur sampai luar kota. Bahkan hingga ke pegunungan Tibet dan Himalaya karena jalannya begitu mulus. Meski jalannya naik turun melewati pegunungan, tapi itu justru jadi tantangan tersendiri bagi para penggemar berat sepeda pancal.
“Sepulang merantau dari India dan Nepal, saya kaget melihat jalan-jalan di kota  Lhasa. Semua kini begitu bagus dan mulus. Dulu tidak seperti ini,” kata Jack Kalsang, warga Lhasa yang mendampingi saya menempuh perjalanan menuju Kathmandu.
Setelah melewati jalan highway selama 30 menit baru ada check point di luar kota Lhasa. Karena setiap orang asing yang masuk Lhasa dan Tibet harus mendapat semacam ijin masuk dari kepolisian setempat atau yang menangani border. Saya hitung, sedikitnya ada empat check point. Sopir harus menunjukan surat ijin masuk Tibet bagi turis yang dibawanya.
Selepas Sungai Burma (karena  hilirnya sampai ke negara Myanmar), jalannya terus menanjak dan berliku-liku melewati pegunungan Himalaya. “Subhanallah, maha suci Allah. Pemandangan begitu indahnya,” kata saya dalam hati. Pegunungan itu begitu besar. Sedangkan kendaraan yang melintas di kawasan itu nun jauh di bawah sana terlilhat begitu kecilnya. Manusia tidak ada apa-apanya dibandingkan alam, apalagi pencipta-Nya. Jalan yang melintas di pegunungan itu sambung memyambung hingga 365 km jauhnya.
Puncak tempat di pegunungan itu namanya Kampala. Tingginya sekitar 4.500 meter di atas permukaan laut. Terlihat beberapa pengendara foto bersama. Pemandangan di bawah sana begitu eksotik.   
Jalan di pegunungan itu begitu bagus. Betapa pemerintah Tiongkok  dengan susah payah telah membangun dan memperbaiki jalan di pegunungan itu meski ada beberapa lubang kecil.
Beberapa pekerja tampak terus memperbaiki meski berada di ketinggian dengan suhu udara sekitar 10 derajat Celcius. “Sudah empat tahun jalan ini dibangun,” kata Kalsang.
Jalan di pegunungan itu berliku dan mulai menurun. Terlihat dari kejauhan danau  Yadov Yang Tsu, satu dari tiga danau yang disuckan umat Buddha Tibet. Karena disucikan, ya tidak ada yang boleh mandi atau mengotori danau itu yang berada 4.442 meter di atas permukaan laut. Panjang danau yang mencapai 136 kilometer itu warna airnya tampak hijau kebiruan. Saat didekati dan disentuh, mak nyus begitu dinginnya. Banyak pengendara yang melintas di wilayah itu foto bersama. Termasuk di patok nama danau yang menunjukkan ketinggian 4.442 meter yang dijaga warga Tibet. Sekali foto, bayar 5 Yuan atau sekitar Rp 7.500. 
Begitu indahnya danau itu hingga warga Tibet percaya danau itu diciptakan saat Tuhan menangis. Mengapa? Karena daerah sekitar danau dulunya miskin dan kering. Setelah ada danau, wilayah itu begitu suburnya. Kesejahteraan masyarakat pun terangkat.
Kini jalan mengikuti konstur danau. Di sepanjang lembah dekat danau banyak dijumpai kambing dan Yak, sejenis sapi mirip benteng tapi lebih kecil. Namun bulunya sangat tebal. Bulu binatang itu sampai sekarang masih jadi bahan pakaian orang Tibet, khususnya yang hidup nomaden atau berpindah-pindah tempat.
Dari kejauhan tampak pegunungan yang puncaknya  dipenuhi salju. Beberapa di antaranya mulai mencair seperti di puncak Carulla, nama salah satu puncak di situ. Suhunya bisa mencapai 7 derajat Cecius.
Selepas itu ada danau lagi. Namanya, Pamu Majala. Meski tidak sebesar dan sepanjang Danau Yadov Yang Tsu, namun tidak kalah indahnya. Airnya juga tampak biru kehijauan. Di ujung danau Pemerintah Tiongkok membangun bendungan untuk jadi PLTA (Pusat Listrik Tenaga Air).
Di wilayah itu, pemerintah Tiongkok juga membangun beberapa blok rumah untuk suku nomaden. Hanya beberapa ditempati, selebihnhya kosong. “Kalau tinggal biasanya sementara. Paling satu, atau dua bulan. Setelah itu mengelana lagi mengikuti binatang peliharaannya mencari rumput yang lebih bagus lagi,” ujar Kalsang.
Pemandangan di wilayah itu indahnya tak ada habisnya. Danau, sungai, jalan berliku, rumah khas Tibet terus mewarnai sepanjang jalan. Saat berada di jalan datar dan sopirnya terlalu pelan menjalankankendaraan, saya tegur agar lebih kencang. 
Di Desa Pena, tak jauh dari kota Shikatse, ada kebiasaan aneh warga setempat. Dimana seorang istri harus rela dikawini semua saudara laki-laki suaminya tadi. Kalau ada empat saudaranya, ya si istri otomatis jadi istri kelima pria tadi. “Uniknya, justru istri yang berkuasa. Kalau soal begituan sang istri yang menentukan akan melayani siapa,” tutur Kalsang.
Tampak beberapa traktor warga setempat atau Tibet hilir mudik di jalanan itu. Bahkan di kota kecil ini, ratusan traktor tampak di parkir di pasar, atau jalan kota yang umumnya wilayah lembah pertanian yang subur.
Setelah tujuh jam berkendaraan, akhirnya saya tiba di Kota Shikatse pukul 15.30. Tapi, hari masih siang. Kalau di Indoneia mungkin sama seperti pukul 13.00. Rencananya, saya akan menginap di daerah itu. Tapi, saya paksa Kalsang   mengurus ijin masuk atau permit ke wilayah perbatasan Zhangmu dekat Nepal hari itu juga agar secepatnya bisa berangkat ke perbatasan.
Akhirnya, Liu, sopir yang mengurus ijin masuk ke Zhangmu ke kantor polisi terdekat. Saya menunggu di salah satu warung kota itu sambil menikmati teh hijau khas Tiongkok.
Kota Shikatse siang itu sangat terik meski suhu udara cukup dingin karena ketinggian kota itu diatas seribu meter lebih. Kondisi kotanya, khususnya jalan, tampak acak-acakan. Sebab, di sana sini banyak yang rusak dan sedang diperbaiki. Belum ditambah banyak debu berterbangan. Maklum, banyak pegunungan tandus dan kering mengitari kota ini.
Dua jam kemudian muncul Liu. Urusan ijin masuk ke kota perbatasan Zhangmu beres. Kami pun langusng meluncur ke kota berikutnya Lao Zhe. Begitun keluar kota Shikatse, jalannya sangat mulus. Terdiri dua lajur.
Di kiri-kanan jalan terhampar pemandangan gunung kering dan lembah savana. Hanya saja tidak seperti daerah savana lainnya, di situ tidak terlihat binatang peliharaan yang digembalakan. Menjelelang masuk kota  Lao Zhe, binatang gembalaan  baru terlihat.
Kali ini sopir Liu melajukan kendaraan lumayan kencang . Sebenarnya bisa dikebut di atas 100 kilometer per jam. Tapi, kendaraan di sini kalau melewati batas kecepatan 100 km per jam akan ada suara peringatan dari mobil. Dan, sopir biasanya patuh dan memelankan laju kendaraannya.
Tiba di kota Lao Zhe yang merupakan kota kecil, jam menunjuk pukul 19.30 waktu setempat. Tapi, hari masih sore karena sinar matahari masih terlihat. Akhirnya, kami putuskan terus melanjutkan perjalanan sampai ke Kota Tingri sekitar dua jam perjalanan agar esoknya tidak terlalu jauh ke Zhangmu, kota perbatasan dekat  Nepal.
Saat melintas check point di kota Lao Zhe, polisi yang bertugas di wilayah itu memerintahkan kendaraan terus melaju karena dia saat itu sedang sibuk menelpon sambil mengawasi dari jauh.
Selepas kota Lao Zhe, jalannya terdiri dua lajur, tapi sedikit menyempit, meski tetap mulus. Kendaraan melaju pelan karena jalanan terus menanjak. Di Kiri kanan jalan diapit gunung batu terjal dengan sungai mengalir deras di bawahnya. Benar-benar pemandangan yang indah.
Sesekali melintas truk-truk buatan Tiongkok yang tampak cukup tangguh. Namanya Dong Feng. Truk ini lah yang banyak beoperasi di wilayah pegunungan Himalaya maupun Tibet dengan mengangkut aneka muatan. Mulai sembako, sayuran, buah-buahan sampai material bangunan.
Jalanan terus menanjak. Sepintas, terbaca tulisan menuju base camp Mount Everest. Jalanan yang kami lintasi cukup tinggi sekitar 4.150 meter di atas permukaan laut. Rangkaian pegunungan Himalaya yang ditutupi salju tampak dari kejauhan.
Tampak juga suku nomaden warga Tibet mengembalikan kambing dan yak- nya di daerah pegunungan yang jauh dari pemukiman warga. Meski hari menjelang malam, mereka tampak jalan dengan binatang peliharaannya di lembah dekat jalan raya.
Mereka hanya mendirikan tenda ala kadarnya dekat kambing tempat mencari makan. Bisa dibayangkan, betapa tangguhnya suku nomaden menghadapi ekstremnya cuaca. Dimana kalau malam hari suhu udara di wilayah itu bisa mencapai 3 derajat Celcius.
Tiba di kota Tingri, yang merupakan kota transit para turis sebelum melanjutkan ke kota Zhangmu, kota perbatasan, lalu  masuk negara Nepal. Kotanya sangat..sangat kecil. Hanya memanjang tak lebih 500 meter. Beberapa bangunan berdiri di kiri kanan jalan. Yakni, berupa deretan hotel kecil, restoran. Nyaris tidak ada rumah warga asli.
Malam itu semua hotel yang ada di kota kecil itu penuh oleh turis yang akan melanjutkan perjalanan ke perbatasan, termasuk para turis pengendara sepeda pancal. Kami berkeliling, akhirnya dapat hotel yang tersisa.
Tapi, tidak ada kamar mandi di dalam. Kalau pun ada kamar mandi biasanya saya kurang suka. Rata-rata baunya sangat pesing. Saya hanya minta disediakan air panas dalam thermos yang biasanya sangat besar. Suhu udara malam itu di Tinghri mencapai 3 derajat Celcius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar